Banda Aceh, 7 November 2024 – Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala (USK) bersama Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) kembali menggelar diskusi mendalam mengenai kebijakan energi di Aceh, khususnya terkait dengan Qanun Rencana Umum Energi Aceh (RUEA) No. 4 Tahun 2019. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas pentingnya revisi dan penyempurnaan qanun tersebut agar kebijakan energi yang ada dapat diimplementasikan dengan lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan sektor energi di masa depan.

Sebagai pemantuk diskusi adalah  Prof. Dr. Ir. Izarul Machdar, M.Eng, Dosen Senior Fakultas Teknik Jurusan Kimia USK dan salah satu pendiri Pusat Riset Perubahan Iklim USK, menyampaikan beberapa kekurangan dalam Qanun RUEA No. 4 Tahun 2019 teridentifikasi. Prof. Izarul mengungkapkan bahwa qanun ini memiliki beberapa ketidakjelasan dalam formulasi pasal-pasalnya yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan energi yang diinginkan. “Kurangnya panduan teknis yang rinci dan ketidakjelasan dalam beberapa pasal menjadi hambatan dalam implementasi yang efektif di lapangan,” kata Prof. Izarul.

Tantangan dalam Implementasi Qanun RUEA

Beberapa pasal dalam qanun ini tidak cukup spesifik, sehingga sulit untuk diterapkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Misalnya, dalam Pasal 5 yang mengatur ruang lingkup kebijakan energi Aceh, masih terlalu umum dan kurang mendalam, tidak membahas aspek teknis yang perlu menjadi fokus, seperti penyediaan infrastruktur energi atau pengelolaan sumber daya energi lokal. Selain itu, dalam Pasal 6, yang mengatur tanggung jawab Pemerintah Aceh, tidak ada mekanisme koordinasi yang jelas antara pihak-pihak terkait, sehingga memperburuk implementasi kebijakan.

Hal serupa juga ditemukan dalam Pasal 12, yang menyebutkan kewajiban SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) untuk melakukan inventarisasi sumber daya energi. Namun, qanun ini tidak mengatur secara rinci mengenai metodologi atau standar yang harus diikuti dalam inventarisasi, serta frekuensi pembaruan data, padahal informasi yang akurat dan terkini sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan energi yang tepat.

Perlunya Revisi Qanun RUEA

Revisi Qanun RUEA No. 4 Tahun 2019 menjadi sangat penting untuk menjawab tantangan tersebut. Pembaruan dan penyempurnaan qanun ini diharapkan dapat memberikan kejelasan yang lebih rinci dan panduan teknis yang lebih terperinci dalam implementasinya. Dengan revisi yang tepat, kebijakan energi Aceh akan lebih sesuai dengan dinamika perkembangan sektor energi, serta lebih mudah diterapkan di lapangan.

Perubahan dalam regulasi nasional juga menjadi alasan kuat untuk melakukan revisi qanun ini. Misalnya, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah diganti dengan UU No. 3 Tahun 2020, dan beberapa peraturan lainnya seperti PP No. 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi telah dicabut dan digantikan dengan PP No. 33 Tahun 2023. Bahkan, terdapat Perpres No. 73 Tahun 2023 yang mengatur tata cara penyusunan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Daerah, serta peraturan baru PP No. 112 Tahun 2022 yang mempercepat pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Pembaruan regulasi ini perlu diakomodasi dalam Qanun RUEA untuk memastikan kebijakan energi daerah tetap relevan dengan perkembangan yang ada.

Meningkatkan Fokus pada Energi Terbarukan

Di samping itu, revisi juga perlu memberikan perhatian lebih pada definisi Energi Baru Terbarukan (EBT), yang dalam qanun yang ada masih kurang spesifik, terutama terkait potensi energi hidro yang seharusnya dimasukkan sebagai bagian dari energi terbarukan. Ini sangat penting mengingat Aceh memiliki potensi besar dalam pemanfaatan energi hidro, yang dapat menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Menyiapkan Kebijakan yang Lebih Detail dan Terukur

Menurut Prof. Izarul, ketidakjelasan dalam beberapa pasal juga menyulitkan implementasi kebijakan yang lebih konkret, seperti dalam hal tanggung jawab BUMA (Badang Usaha Milik Aceh) di Pasal 15, yang menyebutkan kewajiban pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan, namun tidak memberikan penjelasan detail tentang mekanisme pelaksanaan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, dalam revisi qanun ini, perlu ada pengaturan yang lebih rinci mengenai bagaimana BUMA akan mengelola sumber daya energi, serta menjaga keberlanjutan lingkungan dan pengelolaan risiko yang mungkin timbul.

Harapan untuk Masa Depan

Revisi Qanun RUEA No. 4 Tahun 2019 menjadi langkah krusial dalam memastikan bahwa kebijakan energi di Aceh dapat berkontribusi lebih besar terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan pengurangan dampak perubahan iklim. Dengan kebijakan yang lebih terstruktur dan terperinci, diharapkan Aceh dapat lebih siap dalam menghadapi tantangan transisi energi menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Diharapkan, dengan revisi qanun yang lebih komprehensif dan responsif terhadap dinamika sektor energi, Aceh dapat menjadi contoh provinsi yang sukses dalam mengelola dan memanfaatkan energi terbarukan, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, S.T, L.LM, M.T

 

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *